Archive for January, 2011

03
Jan
11

NATAL DAN SAHABATKU MUHAMMAD – Markus Solo Kewuta

Dear rekans,
Minggu 26 Desember kemarin Suara Pembaruan menurunkan tulisan saya berjudul “NATAL DAN SAHABATKU MUHAMMAD” yang bisa ditemukan saat ini di e-paper Suara Pembaruan, 26 Desember 2010 rubrik berita UTAMA hal 4.

http://www.suarapembaruan.com/pages/epaper/2010/12/26/index.html


Kalau susah membaca karena tampilan zoom tidak memadai, bisa baca versi asli di bawah ini:

Salam Damai Natal….:-)

PMSKSVD
——————–

Natal dan Sahabatku Muhammad

Markus Solo Kewuta*

Natalku kali ini agak khas. Rasanya lebih membahagiakan daripada tahun-tahun silam. Bukan karena berbagai hadiah material, melainkan karena sebuah pesan elektronik Selamat Hari Natal dari sahabatku Muhammad S. Dia seorang tokoh Muslim senior terkemuka, Sekretaris Jendral Komisi Dialog Agama, penasihat Perdana Mentri dan Mufti Agung Libanon. Oleh karena posisinya, dia sering diundang berbicara di forum-forum internasional untuk promosi dialog antar umat beragama.

Pada Jumad, 17 Desember 2010, Muhammad menulis kepadaku:  Dear Rev. Fr. Markus, Christmas day is the day of love, sacrifice and peace. In Jesus Christ, God’s word and God’s spirit were personified to enlighten the hearts and souls of humanity. In this blessed occasion I express to you my most sincere love, respect and best wishes. Merry Christmas and Happy New Year. Muhammad S.”.

Di dalam bahasa Indonesia kira-kira demikian: “…Hari Natal adalah hari kasih, pengorbanan dan kedamaian. Di dalam diri Yesus Kristus, Sabda dan Roh Allah mengambil bentuk manusia untuk menerangi hati dan jiwa umat manusia. Pada kesempatan yang berahmat ini, saya mengungkapkan kepadamu kasihku yang paling tulus, respek dan ucapan selamat. Selamat Hari Natal dan Bahagia Tahun Baru…”

Berulangkali saya membaca dan merenungkan kalimatnya untuk melihat dan memahami posisinya sebagai seorang Muslim terhadap Natal. Saya tahu, antara sahabatku Muhammad dan saya terbentang jurang perbedaan teologis menyangkut status Yesus (’Isā). Di saat saya mengimani Yesus Kristus sebagai Putera Allah, sahabatku Muhammad mengakuinya sebagai seorang dari deretan Nabi yang diutus Allah. Di dalam pesan elektronik di atas, dia menempatkan diri secara benar ketika merajut kalimat dengan merujuk pada versi teologi Natal dan “inkarnasi” dari al-Qur’ān melalui dua kata kunci “Sabda dan Roh” (al-kalimatullāh wa ar-rūhulqudūs). Toh, terlepas dari urusan teologis, saya bangga menerima kasih dan respek-nya yang tulus kepadaku, seorang Kristini yang merayakan Natal.

Semakin lama bersahabat, semakin saya mengagumi kepribadian sahabatku Muhammad yang seimbang, terbuka, moderat, solid dan konsekuen. Respeknya terhadap diri dan perbedaanku, sama seperti saya juga menghormati perbedaan identitas iman dan agamanya, membuat persahabatan kami semakin kaya dan menyenangkan. Ketika kami berdiskusi dan menyentuh sisi-sisi sensitip iman dan keyakinan, tak seorangpun merasa terluka, karena tali persahabatan sejati sudah menjadi dasar yang kokoh, lebih kuat ketimbang perbedaan cara pandang.

Identitas Agama

Oktober lalu, saya ditugaskan untuk mendampingi Muhammad selama Sinode Para Uskup Timur Tengah di Vatikan. Beliau diundang oleh Takhta Suci untuk berbicara tentang pandangan seorang Muslim Arab akan penderitaan umat Kristiani minoritas di berbagai Negara Arab.

Masih terlintas dalam benakku kalimat-kalimatnya yang sejuk dalam “keynote address-nya” di aula Sinode, sehingga menuai tepuk tangan Sri Paus bersama ratusan Uskup. Tegasnya: Pe-rong-rong-an dan diskriminasi terhadap umat Kristiani monirotas di berbagai negara Arab yang mengakibatkan eksodus massal sesungguhnya adalah proses pemiskinan budaya Arab sendiri.

Lanjutnya: Sebagai seorang Muslim, dia tidak bisa membayangkan kalau menjadi seorang Muslim Libanon tanpa hidup berdampingan dengan umat Kristiani. Jika toh terjadi, sejatinya hanya merupakan negasi yang menyedihkan terhadap identitas keagamaan diri sendiri. Tambahnya lagi: Menyakiti umat Kristiani minoritas adalah menyakiti diri sendiri.

Kata-kata penuh nuansa ini kemudian dikutip oleh Sri Paus dalam acara Natal bersama Kuria kemarin, Senin, 20 Desember 2010, di Vatikan.

Lanjut Sri Paus, kata-kata melegahkan dada seperti di atas membersitkan sejuta harapan untuk perdamaian dan keharmonisan agama di dunia. Akan tetapi masih tetap lemah, jika hanya dikumandangkan oleh satu orang saja. Setiap manusia harus selalu disadarkan bahwa keberadaan setiap individu sebagai manusia di atas dunia cuma satu kali dan kemanusiaanpun (humanity) hanya satu. Sehingga menyakiti seorang individu saja, sama dengan menyakiti segenap kemanusiaan (humanity).

Respek yang tulus

Sahabatku Muhammad tidak hanya berbicara tentang teori dialog agama abstrak dan tak membumi. Dalam korespondensi selanjutnya kami tiba pada kesepakatan ini: Anda tidak harus membuang perbedaan identitas agama anda untuk bisa menyatakan rasa hormat yang tulus kepada pemeluk agama lain. Anda tidak perlu harus menjadi bagian dari keyakinan orang lain untuk bisa mengucapkan selamat di hari pesta agamanya.

Sebaliknya anda harus tetap menjadi diri anda sendiri ketika menyatakan respek anda kepada orang lain. Ucapan selamat anda tidak selamanya merupakan sebuah bukti pembenaran apa yang orang lain yakini sebagai kebenaran. Ketika anda adalah pemeluk sebuah agama sejati, anda tidak merasa takut akan kehilangan sesuatu pada diri anda. Sebaliknya ketika anda terbuka dan menunjukan respek yang tulus terhadap orang lain, anda telah membantu memperkokoh tali persahatan dan persaudaraan sejati. Demikianlah beriman dan beragama secara benar”.

Enggan mengucapkan selamat masih merupakan satu dari sederetan zona abu-abu dalam peta relasi antar umat beragama di berbagai negara dan wilayah. Banyak orang merasa risih, malah tak sanggup memasuki zona ini atas berbagai alasan yang tidak mudah dipahami oleh akal sehat. Apalagi melarang persahabatan beda agama dan melarang saling menyalami. Padahal saling berbagi rasa dalam suka dan duka tanpa melihat perbedaan adalah “hukum dasar” dalam menata dan memupuk rasa persatuan dan ikatan ketetanggaan demi tercapainya kemaslahatan bersama.

Atas dasar pemahaman ini, setiap tahun, ketika bulan suci Ramadan berakhir, Takhta Suci Vatikan secara tetap mengirim ucapan Selamat kepada umat Muslim di seantero jagad. Inilah salah satu dimensi fundamental dialog kehidupan (dialogue of life) yang hendaknya ditegakan dari level akar rumput (grassroot level) hingga ke tingkat paling atas.

Ahmad Chawki (1863-1932), penyair dan dramaturgis Muslim Mesir kelahiran Kurdi, perintis sastra Arab modern, merenung dan memahami peristiwa Natal dalam sebuah puisinya demikian:

”Rasa manis lahir pada hari kelahiran Yesus,

selaras agungnya jiwa, keadilan dan martabat.

Berbagai ancaman pun hilang

bersama kekerasan dan dendam.

tiada pedang, tiada jarahan,

tiada perselisihan, tiada darah…”

Permenungan jiwa sang penyair masyur Arab ini sayangnya tidak lagi merupakan perlukisan sebuah realitas universal zaman kita. Lebih dari sebuah respek seorang Muslim terhadap makna Natal Kristiani, pesan puisinya lebih merupakan sebuah teriakan minta tolong tak terkira dari segelintir umat manusia yang diperlakukan tidak adil. Kini dan di sini.

Tak ada yang lebih urgen untuk bangsa ini dan segenap umat manusia daripada ”berbagai ancaman pun hilang bersama kekerasan dan dendam. Tiada pedang, tiada jarahan, tiada perselisihan, tiada darah…”

Semoga hidup iman dan keagamaan kita semakin mengagumkan, merangkul dan memberikan rasa aman. Salam damai Natal!

*Penulis Rohaniwan Katolik (SVD), Doktor Teologi Universitas Innsbruck, Austria, alumnus studi Islamologi dan Arabistik di Kairo dan Roma, bekerja di Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama, Desk Asia di Vatikan